Jumat, 31 Oktober 2014

Mengasihi Tanpa Memanjakan


Waktu terus berlalu dengan cepat, rasanya saya sedang berlari sekuat tenaga mengejar detik-demi detik yang terlewatkan setiap hari. Anak-anak juga semakin bertumbuh besar dan mulai memiliki rasa ingin tahu, ingin memiliki, ingin diperhatikan, ingin mengeluarkan pendapat yang yang diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda setiapkalinya.
Ketika kita mendidik anak, kerap kali yang terpikir adalah bagaimana menanamkan kebiasaan baik dan kalau memasukkan anak ke sekolah yang terbaik. Kita berusaha melatih anak agar mereka bisa mandi, mengosok gigi, memakai baju atau sepatu sendiri. Setelah bersekolah, mereka kita harapkan untuk dapat menyiapkan buku, mengerjakan PR dan belajar sendiri tanpa diperintah. Kita juga berusaha agar anak taat pada aturan-aturan yang kita terapkan. Anak perlu hidup teratur. Karena kita mengatur jam berapa mereka harus tidur dan bangun, jam berapa main dan jam berapa makan dan seterusnya. Selain itu, kita jugelarang anak untuk berbohong, mencuri, , memukul, atau memaki-maki orang lain dengan kata-kata tidak senonoh. Membiarkan anak dan mendisiplin mereka dalam hal demikian adalah kewajiban mutlak buat kita sebagai orang tua.
Memberi teladan bukan  suatu hal yang mudah, karena tingkah laku yang baik harus dimulai dari diri sendiri. Sebelum mengkoreksi tingkah laku anak yang baik harus dimulai dari diri sendiri. Sebelum mengkoreksi tingkah laku anak, kita perlu menguji diri, apakah kita sudah berperilaku baik. Biasanya kita akan mendapati beberapa pola tingkah laku kita ternyata kurang pantas diteladani oleh anak-anak. Meskipun demikian, tidaklah mudah bagi kita untuk mengubah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan.
Mengubah kebiasaan lama yang kurang baik memang tudak mudah. Meskipun demikian, kita wajib meninggalkan pola lama kita. Ketika kita percaya Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, sesungguhnya kita sudah dibekali dengan kemampuan untuk berbuat baik dan memperbaiki karakter kita.
Mendisiplinkan Sambil Mengarahkan Hati Anak
Bagi anak, kegiatan mendisiplin pada umumnya dianggap sebagai perlakuan orang tua yang tidak menyenangkan. Tidak jarang anak marah dan mungkin juga mengalami sakit hati karena menerima hukuman. Karena itu, mendisiplin haruslah dilakukan bukian sekedar memberi peraturan dan menerapankan hukuman, melainkan juga perlu disertai dengan pengajaran dan kasih.
Prinsip bahwa di balik hajaran ada pula pengajaran dapat kita baca dalam Ibrani 12:5,6. Dalam bagian ini, Tuhan meminjam contoh gambaran seputar hubungan ayah dan anak, seakan-akan hendak menyatakan bahwa seharusnya seorang ayah memperingatkan dan mendidik anak yang dikasihinya. Hal itu berarti bahwa kita perlu memberitahu mengapa kita perlu menetapkan peraturan dan memberi hukuman pada tertentu  pada anak. Pemberitahuan itu akan mencegah kita berlaku sewenang-wenang, dan dipihak anak, mereka mengetahui mengapa mereka dilarang melakukan dan tertentu dan apa yang mereka boleh lakukan sebagai gantinya. Apabila kita melakukan kesalahan dalam mendidik mereka, misalnya karena salah menuduh atau terlalu keras  menghukum, kita tentunya perlu meminta maaf. Namun, si anak tetap perlu mendapat pemberitahuan mengenai kesalahan yang telah dilakukan. Agar anak tidak sampai sakit hati berkepanjangan, anak perlu menghayati kasih kita terhadapnya. Pengalaman anak berama orangtua seharusnya menyenangkan dan lebih banyak diwarnai kegembiraan. Peraturan, larangan, hukuman, penerimaan, penghargaan, maupun pujian membuat anak belajar dari orangtua tentang Tuhan yang juga menghargai ketertiban hidup dan juga kekudusan.
Mengasihi Tanpa Memanjakan
Ada begitu banyak cara yang dilakukan anak untuk mendapatkan perhatian orangtua, bahkan banyak orangtua yang memberikan semua keinginan anak demi mencukupi ‘standart’ kasih sayang menurut orangtua. Saya dan suami memang harus bekerja ekstra demi mencukupi kebutuhan, ada kala ingin memberikan semua keinginan anak pada weekend demi kebahagiaan mereka. Agar anak memiliki hati yang mengasihi, ia perlu mendapatkan kasih sayang yang memadai dari orangtuanya. Bagi orangtua, bukanlah hal yang mudah untuk menciptakan suasana penuh kasih. Beberapa orangtua harus bergumul dengan sifat kurang sabar sebagai dampak dari pengalaman pahit pada masa lalu. Orangtua yang menjadi korban penolakan atau dihukum secara berlebihan pada masa kecilnya akan melampiaskan kemarahan yang kurang beralasan kepada anak-anak mereka. Akibatnya, anak yang tak berdaya harus menerima segala perlakuan buruk orangtuanya.
Kesulitan lainnya adalah kurang tepatnya orangtua menerjemahkan serta menerapkan kasih. Sebagian orangtua menyangka bahwa mengasihi anak itu sma artinya dengan memmanjakan anak. Cukup sering orangtua merasa telah mengasihi anak, tetapi yang orangtua lakukan adalah memberikan apa saja yang anak inginkan. Padahal dengan cara mengasihi seperti inilah, anak tidak belajar mengendalikan dirinya. Sebab, anak terbiasa memperoleh sesuatu dengan mudah. Selain itu, anak lalu cenderung mementingkan diri dan justru kurang mampu saling berbagi kasih dengan orang lain. Untuk menumbuhkan kasih, kita perlu meletakkannya dalam bingkai ketertiban dan keteraturan.
Ada kalanya orangtua dikaruniai anak yang kurang menarik, memiliki kelemahan baik secara fisik, gangguan cromosom, atau mental. Belasan tahun saya mendidik mereka dan mengenal mereka dengan baik dan begitu kental sehingga menjadi bagian inspirasi terbesar saya, baik orangtua maupun anak ada kala merasa terpukul dengan kondisi tersebut. Keadaan demikian menuntut orangtua untuk lebih serius lagi untuk menerima dan mengasihi anak mereka.
Persoalan lain adalah keterbasan waktu yang dimiliki oleh orangtua dan anak. Ketidak hadiran orangtua dalam hidup anak akan membuat anak berfikir bahwa dirinya tidaklah penting. Beberapa anak yang saya temui di sekolah atau beberapa mahasiswa/i saya mengembangkan pemikiran bahwa dirinya tidak pantas dikasihi. Sebagai akibatnya, anak-anak yang kekurangan perhatian dari keluarga akan berupaya segenap daya agar diri mereka mendapat perhatian dari orang lain. Agar anak mendapatkan perhatian yang cukup, orangtua perlu merancang waktu dan menjadwalkan kegiatan kebersamaan dengana anak setiap harinya. Waktu untuk kebersamaan dengan anak perlu dibuat dengan kesungguhan dan diberi prioritas yang memadai.
Yang tak kalah penting adalah terciptanya suasana pernikahan yang penuh kasih. Orangtua harus memelihara kesetiaan terhadap pasangan agar anak dapat menyaksikan bagaimana kasih itu dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Melalui pernikahan orang tua yang sehat, anak belajar untuk menerapkan kasih pada oranglain dalam bentuk kesetiaan.
Semoga Tuhan Menolong kita untuk menjadi keluarga Kristus yang memancarkan kasih dimanapun kita berada..
Sumber bacaan:
Elia, Heman. 2010. Membentuk Sikap Hati Anak. Yogyakarta: PT. Gloria Utama Mulia.
Gunadi, Paul. 2009. Bantal Keluarga. Jakarta: Metanoia