Waktu
terus berlalu dengan cepat, rasanya saya sedang berlari sekuat tenaga mengejar
detik-demi detik yang terlewatkan setiap hari. Anak-anak juga semakin bertumbuh
besar dan mulai memiliki rasa ingin tahu, ingin memiliki, ingin diperhatikan,
ingin mengeluarkan pendapat yang yang diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda
setiapkalinya.
Ketika
kita mendidik anak, kerap kali yang terpikir adalah bagaimana menanamkan
kebiasaan baik dan kalau memasukkan anak ke sekolah yang terbaik. Kita berusaha
melatih anak agar mereka bisa mandi, mengosok gigi, memakai baju atau sepatu
sendiri. Setelah bersekolah, mereka kita harapkan untuk dapat menyiapkan buku,
mengerjakan PR dan belajar sendiri tanpa diperintah. Kita juga berusaha agar
anak taat pada aturan-aturan yang kita terapkan. Anak perlu hidup teratur.
Karena kita mengatur jam berapa mereka harus tidur dan bangun, jam berapa main
dan jam berapa makan dan seterusnya. Selain itu, kita jugelarang anak untuk
berbohong, mencuri, , memukul, atau memaki-maki orang lain dengan kata-kata
tidak senonoh. Membiarkan anak dan mendisiplin mereka dalam hal demikian adalah
kewajiban mutlak buat kita sebagai orang tua.
Memberi
teladan bukan suatu hal yang mudah,
karena tingkah laku yang baik harus dimulai dari diri sendiri. Sebelum
mengkoreksi tingkah laku anak yang baik harus dimulai dari diri sendiri.
Sebelum mengkoreksi tingkah laku anak, kita perlu menguji diri, apakah kita
sudah berperilaku baik. Biasanya kita akan mendapati beberapa pola tingkah laku
kita ternyata kurang pantas diteladani oleh anak-anak. Meskipun demikian,
tidaklah mudah bagi kita untuk mengubah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan.
Mengubah
kebiasaan lama yang kurang baik memang tudak mudah. Meskipun demikian, kita
wajib meninggalkan pola lama kita. Ketika kita percaya Tuhan Yesus sebagai
Tuhan dan Juru Selamat, sesungguhnya kita sudah dibekali dengan kemampuan untuk
berbuat baik dan memperbaiki karakter kita.
Mendisiplinkan Sambil Mengarahkan
Hati Anak
Bagi
anak, kegiatan mendisiplin pada umumnya dianggap sebagai perlakuan orang tua
yang tidak menyenangkan. Tidak jarang anak marah dan mungkin juga mengalami
sakit hati karena menerima hukuman. Karena itu, mendisiplin haruslah dilakukan
bukian sekedar memberi peraturan dan menerapankan hukuman, melainkan juga perlu
disertai dengan pengajaran dan kasih.
Prinsip
bahwa di balik hajaran ada pula pengajaran dapat kita baca dalam Ibrani 12:5,6.
Dalam bagian ini, Tuhan meminjam contoh gambaran seputar hubungan ayah dan
anak, seakan-akan hendak menyatakan bahwa seharusnya seorang ayah
memperingatkan dan mendidik anak yang dikasihinya. Hal itu berarti bahwa kita
perlu memberitahu mengapa kita perlu menetapkan peraturan dan memberi hukuman
pada tertentu pada anak. Pemberitahuan
itu akan mencegah kita berlaku sewenang-wenang, dan dipihak anak, mereka
mengetahui mengapa mereka dilarang melakukan dan tertentu dan apa yang mereka
boleh lakukan sebagai gantinya. Apabila kita melakukan kesalahan dalam mendidik
mereka, misalnya karena salah menuduh atau terlalu keras menghukum, kita tentunya perlu meminta maaf.
Namun, si anak tetap perlu mendapat pemberitahuan mengenai kesalahan yang telah
dilakukan. Agar anak tidak sampai sakit hati berkepanjangan, anak perlu
menghayati kasih kita terhadapnya. Pengalaman anak berama orangtua seharusnya
menyenangkan dan lebih banyak diwarnai kegembiraan. Peraturan, larangan,
hukuman, penerimaan, penghargaan, maupun pujian membuat anak belajar dari
orangtua tentang Tuhan yang juga menghargai ketertiban hidup dan juga
kekudusan.
Mengasihi Tanpa Memanjakan
Ada
begitu banyak cara yang dilakukan anak untuk mendapatkan perhatian orangtua,
bahkan banyak orangtua yang memberikan semua keinginan anak demi mencukupi
‘standart’ kasih sayang menurut orangtua. Saya dan suami memang harus bekerja
ekstra demi mencukupi kebutuhan, ada kala ingin memberikan semua keinginan anak
pada weekend demi kebahagiaan mereka.
Agar anak memiliki hati yang mengasihi, ia perlu mendapatkan kasih sayang yang
memadai dari orangtuanya. Bagi orangtua, bukanlah hal yang mudah untuk
menciptakan suasana penuh kasih. Beberapa orangtua harus bergumul dengan sifat
kurang sabar sebagai dampak dari pengalaman pahit pada masa lalu. Orangtua yang
menjadi korban penolakan atau dihukum secara berlebihan pada masa kecilnya akan
melampiaskan kemarahan yang kurang beralasan kepada anak-anak mereka.
Akibatnya, anak yang tak berdaya harus menerima segala perlakuan buruk
orangtuanya.
Kesulitan
lainnya adalah kurang tepatnya orangtua menerjemahkan serta menerapkan kasih.
Sebagian orangtua menyangka bahwa mengasihi anak itu sma artinya dengan
memmanjakan anak. Cukup sering orangtua merasa telah mengasihi anak, tetapi
yang orangtua lakukan adalah memberikan apa saja yang anak inginkan. Padahal dengan
cara mengasihi seperti inilah, anak tidak belajar mengendalikan dirinya. Sebab,
anak terbiasa memperoleh sesuatu dengan mudah. Selain itu, anak lalu cenderung
mementingkan diri dan justru kurang mampu saling berbagi kasih dengan orang
lain. Untuk menumbuhkan kasih, kita perlu meletakkannya dalam bingkai
ketertiban dan keteraturan.
Ada
kalanya orangtua dikaruniai anak yang kurang menarik, memiliki kelemahan baik
secara fisik, gangguan cromosom, atau mental. Belasan tahun saya mendidik
mereka dan mengenal mereka dengan baik dan begitu kental sehingga menjadi
bagian inspirasi terbesar saya, baik orangtua maupun anak ada kala merasa
terpukul dengan kondisi tersebut. Keadaan demikian menuntut orangtua untuk lebih
serius lagi untuk menerima dan mengasihi anak mereka.
Persoalan
lain adalah keterbasan waktu yang dimiliki oleh orangtua dan anak. Ketidak
hadiran orangtua dalam hidup anak akan membuat anak berfikir bahwa dirinya
tidaklah penting. Beberapa anak yang saya temui di sekolah atau beberapa
mahasiswa/i saya mengembangkan pemikiran bahwa dirinya tidak pantas dikasihi.
Sebagai akibatnya, anak-anak yang kekurangan perhatian dari keluarga akan
berupaya segenap daya agar diri mereka mendapat perhatian dari orang lain. Agar
anak mendapatkan perhatian yang cukup, orangtua perlu merancang waktu dan
menjadwalkan kegiatan kebersamaan dengana anak setiap harinya. Waktu untuk
kebersamaan dengan anak perlu dibuat dengan kesungguhan dan diberi prioritas
yang memadai.
Yang
tak kalah penting adalah terciptanya suasana pernikahan yang penuh kasih.
Orangtua harus memelihara kesetiaan terhadap pasangan agar anak dapat
menyaksikan bagaimana kasih itu dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Melalui
pernikahan orang tua yang sehat, anak belajar untuk menerapkan kasih pada
oranglain dalam bentuk kesetiaan.
Semoga
Tuhan Menolong kita untuk menjadi keluarga Kristus yang memancarkan kasih
dimanapun kita berada..
Sumber bacaan:
Elia, Heman. 2010. Membentuk Sikap Hati
Anak. Yogyakarta: PT. Gloria Utama Mulia.
Gunadi, Paul. 2009. Bantal Keluarga.
Jakarta: Metanoia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar